Apakah Islam Agama Teroris?


Lupakan sejenak argumentasi soal negara lain yang “lebih teroris” daripada “Islam.” Lupakan juga soal “ketakutan yang sengaja dipelihara dan diciptakan” serta teori konspirasi lainnya. Saat sekarang memang banyak yang mengatasnamakan Islam dan bahkan atas nama Allah untuk melakukan tindak terorisme. Itu fakta yang tak bisa ditolak.

Beberapa waktu lalu, Abu Dujana didor Densus 88 di Banyumas. Tak cuma itu, Densus 88 juga menciduk pucuk pimpinan JI, Zarkasih alias Mbah dan “Roy Suryo” nya Abu Dujana, Arif Syaifudin, juga Aris Widodo, Isa Ansyori Muchairom, Nur Fauzan Ade Setiawan, Nur Afifudin alias Suharto alias Haryanto, dan Azis Mustofa alias Api. Walau banyak politisi koar-koar karena merasa dianaktirikan, saya mengucapkan selamat buat Polri, BIN, dan pihak terkait lainnya untuk kerja kerasnya selama ini.

Memang benar, Indonesia belum 100% aman, apalagi Abu Dujana mengaku pernah memiliki 500 kg peledak dan senjata api. Penangkapan ini mungkin membuat struktur JI goyah, namun dengan sel organisasi yang kuat, bisa dipastikan JI akan segera memasang pimpinan dan staf anyar di organisasinya. Tapi, apa memang Islam tukang bikin teror?

Kalau dibaca seksama, lebih dari 3/4 isi Al-Qur’an mengulas soal akhlakul karimah. Soal sifat dan perilaku mulia yang harus dilakukan, bagaimana anak berbakti dengan orang tua, keluarga yang sakinah, adab dalam berkehidupan sosial, dan hal-hal terkait lainnya. Apalagi kalau dirunut ke belakang, kitab ini memang diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia yang carut marut. Rasulullah sendiri juga merupakan figur yang sangat baik dalam kelemahlembutan dan sopan santun di setiap tutur lakunya. Tak heran kalau sejak masa mudanya, beliau sudah disegani banyak orang.

Al-Qur’an dan As-sunah sebenarnya lebih banyak mengulas soal “kita”. Sangat jarang ditulis tentang “mereka” atau “mereka” yang tidak seiman dengan “kita.” Toh, beragama adalah sebuah pilihan yang tak bisa dipaksakan. Sebagaimana tertulis dalam QS Al Baqarah 256, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).” Itu artinya bahwa kita tak boleh memaksakan orang lain untuk masuk agama kita. Kita juga tak boleh memaksa orang lain untuk serta merta mengikuti apa mau kita.

Pun di QS Al An’am 108, Allah berfirman, “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”Jadi sebenarnya juga tidak masuk akal kalau kita mengutuk Amerika atau Israel, apalagi menyebut mereka (maaf) kafir. It’s definitely wrong.

Kalau boleh jujur, Islam di Indonesia memang unik. Walau merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, mereka terpecah dalam sekian banyak golongan, partai, klan, kelompok, dan garis pembatas lainnya. Typically, antara yang satu dengan yang lain susah untuk saling menghargai dan merasa bahwa dirinyalah yang paling baik dan paling benar.

Tentu ini terlalu lucu untuk disebut lelucon. Islam bertuhankan satu, nabinya juga sama, punya kitab yang sama. Jaman Rasulullah, Islam juga satu. Tapi kenapa sekarang umat Islam malah membuat garis pembeda sendiri-sendiri? Garis pembeda yang sebenarnya malah rentan pada perpecahan. Ada yang adem ayem, ada yang justru bikin bom. Ada yang sibuk ngurus pendidikan dan kesehatan, yang lain malah bikin rusak kafe dan bar.

Sampai sejauh ini, dunia barat memang unggul dalam iptek maupun ekonopolitik. Sangatlah bodoh kalau kita melawan senjata dengan senjata. Jelas kalahnya. Kalau memang ingin Islam diunggulkan, tentu harus dengan hati yang bersih dan otak yang cemerlang. Dengan cara-cara yang lebih cerdas dan taktis. Bukan dengan pengeboman dan penebaran teror di sana-sini.

Soal-soal demikian memang tak dapat dihindari sebagai sebuah tantangan jaman yang harus dihadapi manusia. Dinamika jaman yang terus berubah bisa membuat siapapun kian jauh dari agamanya. Masalahnya sekarang adalah bagaimana cara kita supaya selalu update terhadap perkembangan jaman tanpa mengabaikan rambu-rambu yang ada.

Agama dan kitab suci diturunkan oleh Tuhan yang maha tahu segalanya. Bukan agama yang musti berubah. Tapi kita sebagai manusianya.

0 komentar: